MENEMUKAN KEMBALI SPIRIT KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB: TIMBANGAN NALAR PHILOSOPHIA PERENNIS
Abstrak
Di sebilah pagi cerah. Sekumpulan burung gereja bermain di trotoar. Bayangan pepohonan rindang rebah di rerumputan. Di Istana Negara, di langit cerah, Presiden Sukarno—di hadapan kader-kader Pancasila—pada 5 Juli 1958 memberi “Kursus Pancasila” dan mengurai secara mendalam “Perikemanusiaan dan Pancasila.” Sukarno mendaku, “Menschlichtkeit, kemanusiaan itu memang dari dulu ada. Rasa perikemanusiaan adalah hasil daripada pertumbuhan rohani, hasil daripada pertumbuhan kebudayaan, hasil daripada alam tingkat rendah ke taraf yang lebih tinggi. Perikemanusiaan adalah hasil daripada evolusi di dalam kalbunya manusia.”(sukarno, 1958). Pada saat yang sama, Mohammad Hatta dan Ki Hajar Dewantara, membentangkan semesta pemikiran mereka perihal kemanusiaan universal, yang jiwa, yang raga, keadaban, dan keadilan yang niscaya hadir dalam detak jantung sejarah kemanusiaan amat panjang. Berikut ini akan ditelaah lebih dalam, fundamental idea pikiran genial para pendiri negara, khususnya perihal “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” menyusul gelombang globalisasi yang kini menghantam setiap sendi kemanusiaan kita yang autentik.
Diterbitkan
Cara Mengutip
Terbitan
Bagian
Lisensi
Hak Cipta (c) 2021 Jurnal Pembumian Pancasila

Artikel ini berlisensiCreative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.