MODEL KEPEMIMPINAN INDONESIA DI TENGAH POLITIK UANG (MONEY POLITICS): SEBUAH REFLEKSI FILOSOFIS TERHADAP PEMILU 2024
Abstrak
Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 telah dilalui dengan lancar sesuai tahapan-tahapan yang sudah ditetapkan. Hasil Pemilu di ranah eksekutif dan legislatif telah diumumkan dan diterima publik setelah melewati berbagai mekanisme gugatan. Di level proses demokrasi prosedural bisa dikatakan semuanya berjalan baik sesuai dengan norma-norma yang ditetapkan. Namun, ada satu persoalan yang terus menjadi perdebatan dan masalah serius di negeri ini yakni politik uang (money politics) atau jual beli suara, termasuk di dalam aspek ini adalah patronase (pork-barrel) dan klientelisme. Pertanyaan pokok, yaitu apakah dari pemilu ke pemilu, politik uang semakin berkurang atau semakin marak dipraktikan? Tulisan, Lucky Djani berjudul “Peran Uang dalam Demokrasi Elektoral” menunjukkan praktik politik uang marak terjadi di pemilu 2014. Sedangkan kajian terhadap politik uang pada Pemilu 2019 secara kuantitatif dilakukan dengan sangat mendalam oleh Burhanuddin Muhtadi dalam karyanya berjudul “Votes for Sale-Klientelisme, Defisit Demokrasi, dan Institusi”. Dua kajian ini memperlihatkan tentang maraknya politik uang baik di pemilu 2014 dan 2019. Pertanyaannya, apakah politik uang terjadi lagi pada pemilu 2024 yang baru saja dilewati oleh bangsa Indonesia? Pertanyaan substantif berikut yang perlu didalami yaitu, mengapa politik uang terjadi? Dan akhirnya pertanyaan berikut, bagaimana model kepemimpinan untuk meredam praktik ini? Berbagai kajian dan sejarah menunjukkan bahwa politik uang merusak sendi-sendi kehidupan bersama. Situasi ini juga menjadi lingkaran setan yang merusak demokrasi yang bertujuan demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Unduhan
Diterbitkan
Cara Mengutip
Terbitan
Bagian
Lisensi
Hak Cipta (c) 2024 Jurnal Pembumian Pancasila

Artikel ini berlisensiCreative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.